BAB
I
LANDASAN
TEORI
1.1 Definisi
v Suatu
struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris,
Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder (pihak yang berkepentingan)
lainnya.
v Suatu
sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang
dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan
penyalahgunaan aset perusahaan.
v Suatu
proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.
Dari pengertian diatas terdapat
berapa hal penting yang terkandung dalam Good Corporate Governance, antara lain
adalah:
1.
Efektivitas
yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis,
kebijakan dan struktur organisasi perusahaan yang bertujuan untuk mendukung dan
mendorong pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara
lebih efektif dan efisien, pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham
dan stakeholder lainnya
2.
Seperangkat
prinsip, kebijakan manajemen perusahaan yang diterapkan bagi terwujudnya
operasional perusahaan yang efisien, efektif dan profitable dalam menjalakan
organisasi dan bisnis perusahaan untuk mencapai sasaran strategis yang memenuhi
prinsip-prinsip praktek bisnis yang baik dan penerapannya sesuai dengan
peraturanyang berlaku, peduli terhadap lingkungan dan dilandasi oleh nila-nilai
sosial budaya yang tinggi.
3.
Seperangkat
peraturan dan sistem yang mengarah kepada pengendalian perusahaan bagi
penciptaan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan (pemerintah,
pemegang saham, pimpinan perusahaan dan karyawan) dan bagi perusahaan itu
sendiri.
1.2 Prinsip Utama Good Corporate Governance
1.
Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness)
bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi
hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup
adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk
melindungi hak-hak investor - khususnya pemegang saham minoritas - dari
berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider
trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang
dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Biasanya, penyakit yang timbul
dalam praktek pengelolaan perusahaan, berasal dari benturan kepentingan. Baik
perbedaan kepentingan antara manajemen (Dewan Komisaris dan
Direksi) dengan pemegang saham, maupun antara pemegang saham pengendali
(pemegang saham pendiri, di Indonesia biasanya mayoritas) dengan pemegang saham
minoritas (pada perusahaan publik biasanya pemegang saham publik). Di tengah
situasi seperti ini, lewat prinsip fairness, ada beberapa manfaat yang
diharapkan bisa dipetik. Apa saja manfaat itu?
Fairness diharapkan
membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent
(hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair
(jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada
perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di
atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin
perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah
prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif.
Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten
dan dapat ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena
akan menjadi penjamin adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun,
tanpa ada pengecualian. Peraturan perundang-undangan ini harus dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation
abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah
penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam mengambil keputusan
sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang
harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus
dibayarkannya.
2.
Transparency (Keterbukaan
Informasi)
Transparansi bisa diartikan
sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Perbincangan prinsip ini sendiri
sangatlah menarik. Pasalnya, isu yang sering mencuat adalah pertentangan dalam
menjalankan prinsip ini. Semisal, adanya kekhawatiran perusahaan bahwa jika ia
terlalu terbuka, maka strateginya dapat diketahui pesaing sehingga membahayakan
kelangsungan usahanya. Wajarkah kekhawatiran seperti itu?
Menurut peraturan di pasar modal
Indonesia, yang dimaksud informasi material dan relevan adalah informasi yang
dapat mempengaruhi naik turunnya harga saham perusahaan tersebut, atau yang
mempengaruhi secara signifikan risiko serta prospek usaha perusahaan yang
bersangkutan. Mengingat definisi ini sangat normatif maka perlu ada
penjelasan operasionalnya di tiap
perusahaan. Karenanya, kekhawatiran di atas, sebetulnya tidak perlu muncul jika
kita mampu menjabarkan kriteria informasi material secara spesifik bagi masing-masing
perusahaan.
Dalam mewujudkan transparansi ini
sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat
waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut.
Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan
serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja
perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat
mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.
Ada banyak manfaat yang bisa
dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap
secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka
dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi
dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan
kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
3.
Accountability (Dapat
Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas adalah kejelasan
fungsi, struktur, sistem dan pertangungjawaban organ perusahaan sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
Masalah yang sering ditemukan di
perusahaan-perusahaan Indonesia adalah mandulnya fungsi pengawasan Dewan
Komisaris. Atau justru sebaliknya, Komisaris Utama mengambil peran berikut
wewenang yang seharusnya dijalankan direksi. Padahal, diperlukan kejelasan
tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme pengecekan
dan perimbangan dalam mengelola perusahaan.
Kewajiban untuk memiliki
Komisaris Independen dan Komite Audit sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa
Efek Jakarta, merupakan salah implementasi prinsip ini. Tepatnya, berupaya memberdayakan
fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Beberapa bentuk implementasi lain dari
prinsip accountability antara lain:
v Praktek Audit
Internal yang Efektif
v Kejelasan
fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam anggaran dasar
perusahaan dan Statement of Corporate Intent (Target Pencapaian Perusahaan di
masa depan)
Bila prinsip accountability
ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban,
wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi.
Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency
problem (benturan kepentingan peran).
4.
Responsibility
(Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan
adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip
korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang
berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan
industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja,
standar penggajian, dan persaingan yang sehat.
Beberapa contoh mengenai hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
v Kebijakan sebuah
perusahaan makanan untuk mendapat sertifikat
“HALAL”.
Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat
ini, dari sisi konsumen, mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang
dikonsumsinya itu halal dan tidak merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi
Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut
akan menjamin loyalitas konsumen sehingga kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan
kemampuan mencetak laba lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat
maksimal bagi pemegang saham.
v Kebijakan
perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga
merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini
menjamin mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar.
Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan
tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan usaha karena akan mendapat
dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
Penerapan prinsip ini diharapkan
membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia
menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibility
ini juga diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan
pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan
manfaat dari mekanisme pasar.
1.3 Manfaat Good Corporate Governance
1.
Mengurangi
agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham
sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini
dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan
wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul
untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2.
Mengurangi
biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan
perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya
yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat
resiko perusahaan.
3.
Meningkatkan
nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut
kepada publik luas dalam jangka panjang.
4.
Menciptakan
dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam
lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan
kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan
bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi
perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
1.4 Syarat Keberhasilan Good Corporate
Governance
Faktor
Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal
adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga
mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/
lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good
Governance dan Clean Government menuju Good Government Governance
yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang
tepat (best practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG yang
efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan).
d.
Terbangunnya
sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini
penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai
kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara
sukarela.
e.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai
prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya
semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik di mana perusahaan
beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang
kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa
perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan
dalam implementasi GCG.
Faktor
Internal
Maksud faktor internal adalah
pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam
perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate
culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja
manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang
dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan
juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang
efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin
akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik
untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan
sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah
perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua
faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG
secara efektif sangat tergantung pada kualitas, skill, kredibilitas, dan
integritas berbagai pihak yang menggerakkan organ perusahaan. Yang pasti, jika
berbagai prinsip dan aspek penting GCG dilanggar suatu perusahaan, maka sudah
dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam
persaingan bisnis global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan
kondusif bagi pertumbuhan bisnisnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar